Arsip Bulanan: Februari 2015

Sojin, bunuh diri, dan korea

Kemarin ngelihat di twitter rame dengan Hastag #Sojin, nah ternyata bukan hanya menjadi trending topik di Indonesia aja, bahkan di dunia. Penasaran dengan sosok Sojin, iseng-iseng saya kepoin, ohw ternyata artis korea, ohw ternyata meninggal bunuh diri, ohw ternyata.. ohw ternyata.. blablabla…

Padahal cantik pisan euy, kalo yang cantik aja bunuh diri bagaimana yang tidak cantik? Ehh.. Gagal Fokus… Hehehe.. Saya meyakini yang membaca ini semuanya cantik dan tidak pernah punya niat untuk melakukan seperti yang Sojin lakukan. Hehhee… buktinya sekarang masih sempet toh buat baca postingan saya. 🙂

Kasus bunuh diri kalangan artis korea dan japan memang terjadi sering kali. Mungkin memang sudah jadi bagian budaya sana, kalau-kalau ada paham yang menganggap bunuh diri sebagai penyelamatan harga diri. yaa walaupun itu pemikiran yang salah, dan jauh dari hukum keberadaban terhadap Tuhan.

So Jin kemungkinan bunuh diri karena depresi tingkat tinggi, karena merasa kehilangan dunianya setelah diputus masa kontraknya menjadi member baby kara oleh DSP Media, tak tanggung-tanggung, Sojin terbang bebas dari apartemennya yang berada di lantai 10, Serem kan? Hayoo ngaku kalo kalian kalo diputus pacar milih ngapain? Bunuh diri?? Hmm… bunuh rasa aja supaya aman ya. Hehehe

Sojin bukan satu-satunya artis korea yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Tahun 2008 publik dikejutkan dengan kabar kematian Kim Ji Hoo yang memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di rumahnya sendiri. Di tahun 2009 giliran Jang Ja-yeon yang gantung diri, adalagi Park yong Ha yang depresi karena ayahnya sakit, dan satu lagi Han Nah, entahlah siapa lagi, nama-nama aneh itupun saya kutip dari fortal detik.com karena saya memang bukan orang yang kompeten dan bukan salah satu penggemar atau penghafal para artis yang kece-kece itu. Hehehee.. Ngepoin tentang artis korea aja baru setelah hastag #Sojin ramai di twitter.

Dari beberapa artis korea yang bunuh diri, rata-rata penyebabnya adalah depresi, entah tekanan yang berlebihan dari manager atau penggemar, yang jelas kejiwaan mereka terganggu oleh tuntunan yang begitu banyak. Atau putus asa karena kegagalan, entah diputus kontrak,gagal memberikan yang terbaik dan sebagainya

Depresi memang menjadi salah satu penyebab tertinggi mengapa orang melakukan bunuh diri, kita dapat mengambil pelajaran bahwa uang dan popularitas bukan segalanya, karena ada bagian “kebahagian” yang belum tentu mampu disentuh oleh uang atau popularitas. Orang yang mampu bahagia adalah orang yang mempunyai segalanya, lebih dari sekedar uang dan terkenal. Sayangnya bahagia itu diperoleh dengan pemahaman baik akan makna sabar dan syukur, itu artinya bahagia akan diperoleh jika kita menerima atas semua yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Bunuh diri?? No Way, orang yang menghargai Tuhan tidak akan melakukan perendahan terhadapNya dengan cara membunuh diri sendiri.

Kenangan Menyeruak di Kala IMLEK

Entah sejak kapan semua ini bermula, tetapi setiap IMLEK kampung sebelah tempat saya tinggal ini selalu ramai, bunyi petasan bersautan di pagi-pagi yang hujan, yaa memang begitu, karena memang kampung sebelah tempat saya tinggal yang hanya dibatasi sawah itu adalah kampung baru cina, di mana penduduknya mayoritas keturunan Tionghoa. Tunggu dulu, ternyata bukan hanya kampung sebelah yang ramai, tetapi kampung saya juga ramai, padahal kampung saya mayoritas penduduknya Muslim, ya memang ada satu dua keluarga Tionghoa yang tinggal, tetapi nyata-nyatanya mereka merayakan hari rayanya secara meriah dan yang paling penting adalah damai. Paginya suara petasan bersautan dan kemudian mereka pergi ke klenteng untuk sembahyang, dan setelahnya perayaan yang diisi musik cokek yang bahkan ketika saya menulis ini suaranya masih berkeliangan (jam 10 malam). Dulu waktu masih kecil, saya masih ingat bagaimana antusiasnya saya ingin melihat barongsay yang disajikan oleh warga Tionghoa di kampung saya dalam perayaan Imlek, sesuatu yang asing tetapi berhasil membuat saya pribadi penasaran, tetapi tahun ini Keluarga Tionghoa yang sering disebut warga sebagai Engko Enghan itu merayakan hari rayanya dengan memanggil kesenian cokek, semacam dangdut versi Tionghoa, nanti mereka akan bergoyang, saya yang tadi lewat di depan rumahnya cukup tertawa kecil melihat nenek-nenek joged bareng sinden, semua keluarga memakai pakaian merah, ya mungkin merah memang selalu dijadikan simbol oleh warga Tionghoa, dan beruntunglah buat para anak-anak, karena akan dibagikanlah uang amplop yang sering mereka sebut Angpao, sekiranya itu sekilas yang saya perhatikan.

Saya melihat bagaimana toleransi ini berjalan, tidak pernah ada perang karena sebuah kepercayaan, orang Tionghoa menghormati warga muslim, dan sebaliknya warga Tionghoa yang minoritaspun dihormati, ketika perayaan hari raya Imlek, warga Tionghoa bebas merayakan, bahkan dengan suara nyanyian cokek atau petasan di pagi-pagi buta, di kehidupan sehari-hari warga di sini juga membaur, dan bahkan sering belanja ke warung Engko Enghan yang memang salah satu warga Tionghoa di kampung saya, rasa-rasanya menghormati kepercayaan orang lain cukup dengan membiarkannya merayakan dengan apa yang mereka yakini bukan ikut dalam sebuah perayaan. Boleh membaur asal jangan melebur, sepertinya itu prinsip yang cocok untuk seseorang yang memegang benar-benar agamanya.

Perayaan IMLEK ini mengingatkan saya banyak hal, pertama adalah kenangan masa kecil saya, dulu waktu masih kecil saya pernah ikut dengan bapak ke rumah temannya yang memang di daerah kampung cina dan kebetulan juga warga Tionghoa. Ini memang bukan cerita tentang perayaan IMLEK tetapi ini pengalaman pribadi saya semata, waktu itu untuk pertama kalinya saya melihat babi yang benar-benar besar yang berada di kandang, di situ saya baru tahu kalau-kalau babi makannya ampas atau dedek. Kedua saya teringat dengan cerita tentang keponakan bapak yang dari Muslim berpindah agama ke Khong Hucu demi alasan pernikahan, dulu waktu keduanya pacaran bapak saya adalah termasuk yang paling geram mengancam, mengejar laki-laki cina yang suka main dengan sembunyi-sembunyi, walau akhirnya keponakan bapak itu benar-benar menikah dengan warga Tiong Hoa dan mengorbankan agamanya. Sesuatu yang menyedihkan, ya mungkin itu mengapa kalau-kalau keponakan bapak saya itu jarang berkunjung ke keluarganya yang muslim. Terakhir ketika Ibu saya berkunjung untuk mengundang di acara pernikahan saudara juga, di rumahnya banyak babi, bahkan suaminya menjadi tukang jagal babi, dan anjingnya juga di mana-mana.

Saya rasa itu saja yang spesial dari sebuah kenangan yang menyeruak di kala IMLEK yang menyenangkan adalah hari ini saya libur dari pekerjaan.

Kampung Karet Tajurhalang

19 Februari 2015