Arsip Bulanan: Januari 2015

Senja, Rapuh dan Yang Berpunya

Di sudut-sudut kecil kau mengigil menangisi senja yg rapuh.

Mungkin keruh oleh hati yg bergemuruh akan dosa di pelupuk mata.

Di dasar jurang itulah kau mengadu, mengambil jarak terdekat kepada yang berpunya.

Senjamu memang telah rapuh bahkan hancur dalam keluh tetapi kau semakin dekat dengan yang berpunya.

Lalu bagaimanakah jadinya hatimu sekarang bukan.

Aku tahu, pasti sedih itu telah pergi, tangis itu sudah menjadi senyum berseri.

Ahh benarlah apa kata orang bilang, mendekat kepada yang berpunya menentramkan jiwa, menghalau penyakit hati dan derita.

Ala bidzikri tatmainal Qulb

Antara kucing, jakarta dan cinta

Hari ini si belang kucing peliharaan saya di rumah bulak-balik mendekati si merah kucing peliharaan saya lainnya dengan terkesan bermaksud menyerang, sayapun mengusirnya dengan memukulnya berkali-kali, tetapi bukan malah kabur atau lari, si belang malah berlaku manis, menjatuhkan dirinya ke lantai dan menyentuh tangan saya dengan kepalanya, Ohw Tuhan sayapun tersentuh dengan sikap manisnya, merasakan sentuhan bulu-bulunya yang halus, meresapi setiap sentuhan ditambah bunyi meongnya yang demikian lirih minta dikasihani, walau ini berbanding terbalik dengan sikapnya di belakang, si belang sering ambil ikan diam-diam, menyerang si merah dan si pusi, kucing lain yang memang sudah menyerah dengannya, atau bahkan kencing sembarangan di sana sini, itu mengapa Ibu saya sangat memusuhi si belang, tetapi tetap saja kalau pulang ya diberikan makan lagi, yaa disayang lagi. Saya jadi tidak mengerti antara benci dan sayang mengapa jadi begitu dekat ya. Ada yang mengerti? Atau boleh juga saya analogikan pengertian ini dengan mencintai kota Jakarta. Banyak orang menghujat jakarta dengan macet-macetnya, dengan banjirnya, dengan segala apa yang ada di dalamnya, tetapi tetap saja tinggal-tinggal lagi di jakarta, tetap saja kembali lagi ke jakarta. Ada yang pernah mengalami mencintai pasangan dengan cara membencinya? Atau ada yang lebih exstream lagi.

Saya sungguh tidak mengerti jika sudah membicarakan wilayah cinta, tetapi demikian hanya dimengerti oleh pelakunya, mencintai dan membenci mungkin selalu dikatakan sebagai sesuatu yang berlawanan walau nyata-nyatanya kata cinta mungkin tidak akan pernah ada tanpa benci, dan sebaliknya, kata bencipun tidak akan pernah ada tanpa kata cinta. Jadi mulai hari ini jangan pernah mengutuki benci, atau yang sadis mengutuki cinta, ya mungkin ada yang saking traumanya. Tetapi tepatnya butuh pengertian yang dalam untuk memandang keduanya, bahwa benci adalah keniscayaan dalam mencintai walau mencintai belum tentu menjadi keniscayaan dalam menbenci.

Bapakku sang pembuka jalan kebenaran

Tubuhku tersekat, napas tersenggal dalam, ku tatap kembali wajahku di cermin spion motor yang terparkir di pinggir jalan, air mata terlihat mengatup, memaksa keluar, sementara sifat kelaki-lakianku berucap jangan, memaksa berlaku gagah, walau akhirnya mengalah. Apakah lelaki tidak boleh menangis? Aku rasa tidaklah demikian, menangis itu ungkapan emosi yang wajar, bukan hanya milik kaum perempuan bukan? Tuhan menciptakan air mata dan kini aku mempunyai kesempatan untuk menikmatinya, menikmati sejadi-jadinya. Siapa yang mau protes? Tidak peduli dengan lalu lalang orang-orang lewat yang dari tadi memperhatikanku. Akupun menangis sejadi-jadinya di gerimis yang menyayat hati. Bingung? Apa yang sudah terjadi demikian menyiksa hati. Dan aku terkesan malah menikmati sayatan itu, dengan emosi berbalut air mata. Begitulah memang jika sesuatu disikapi tanpa sabar, masalah terlihat amat besar.

“Ohw Tuhan ajari aku untuk bersabar kali ini” decakku dalam hati.

Adalah pagi itu, sekiranya waktu bisa kuberhentikan sejenak, akan ku perbaiki diriku di waktu yang kemarin, kau tahu kawan, aku terjerumus dalam dunia yang salah, dunia male escort, gay, lesbi,bar, ganja, hura-hura, dan apalah itu namanya, semua menjadi bagian hidupku selama ini, dunia hitam kelam yang membuat ketertarikan sexku menyimpang. Aku memang sama sekali tidak menjadi banci, sama sekali tidak, Aku masih menyukai perempuan tetapi lebih nyaman dengan sesama lelaki. Adalah pagi itu, ketika teman SMA ku menawarkan sebuah pekerjaan di sebuah hotel di Ibukota yang ku terima begitu saja.

“Sial.. itulah yang menjadi awal segalanya.” Delikku lagi mengingat dalam hati.

Mulutku terkatup lagi, menahan gigi graham yang mengangnga karena deras air mata. Bunyi telpon tadilah yang membuatku memilih berhenti dan memarkirkan sepeda motor di keramaian tepi taman makam pahlawan kalibata.

Suara itu, suara bapak yang memaksa pulang, ohw bukan, tepatnya suara ibu yang mewakili perasaan rindu seorang bapak yang memaksaku untuk pulang ke rumah. Tetapi ini bukan masalah rindu, bukan masalah pulang ke rumah. Tetapi masalah pertanyaan yang aku belum tahu bagaimanaku harus menjawabnya.
“Bapak sakit payah le, pulanglah cepat le.. dan satu lagi, dia minta kau segera menikah le.., itu yang dimintanya, kalau sudah ada calon bawalah ke rumah” ucap Ibu pelan seraya menenangkanku tentang keadaan bapak.

Suara itu seperti sedang menghakimi semua perbuatanku selama ini. “Sesat” bukan, bukan sesat tepatnya lebih kepada sesuatu yang dimurkaiNya, karena aku mengerti bahwa terjebak di dunia hitam kelam seperti ini adalah sebuah dosa yang teramat besar, perbuatan yang dimurkai. Sementara sesat itu sama dengan jika aku membenarkan perbuatanku sendiri tanpa merasa bersalah. Mungkin itu mengapa dalam ayat terakhir alfatihah antara jalan yang dimurkai dengan jalan yang sesat dibedakan dengan sangat jelas. Kira-kira itu makna sesat dan dimurkai yang aku pahami dari guru ngajiku dulu.

Permintaan yang membingungkan untuk duniaku sekarang ini, tubuhku sudah terjebak dunia hitam sementara menikah adalah ibadah sunah NabiNya bagaimana aku bisa menjalankan keduanya sekaligus, sementara itupun satu hal yang menjadi pertanyaan besar. Wanita mana yang mau menerima laki-laki penuh dosa ini? Ahhk.. Aku berputus asa.

Ku putar balik arah sepeda motorku, di perjalanan cuma air mata yang bercampur gerimis yang membasahi pipiku. Aku tidak menyangka bapak yang sudah kepayahan masih memikirkan anak laki-laki terakhirnya ini. Pikiranku terbaluti kenangan bersamanya, bagaimana aku diajari bermain gundu, bermain lumpur di sawah, merawat dan bermain bersama ayam dan kambing di belakang rumah. Semua seakan meluluh lantahkan pertahananku.

Ku siapkan tas besar untuk menyiapkan pakaian untuk pulang. Tanpa mengabari lebih dahulu semua. Pekerjaan itu, teman-teman itu, dunia hitam itu, ku ingin keluar dari semuanya. Demi bapak, cuma itu yang tertanam dalam hatiku sekarang. Yaa demi bapak, yang sedang berjuang dalam kepayahan, yang tidak tahu bagaimana dunia anaknya sekarang.

Sesampai di rumah ku lihat sosok orang tua yang ku hormati itu benar-benar sudah kepayahan, bapakku tidak mau dirawat di rumah sakit, entah mengapa jadinya, sejak kakaku meninggal di rumah sakit ketika pasca operasi, bapak bersikeras tidak akan ke rumah sakit lagi, bahkan ke klinikpun tidak, kepercayaannya terhadap dokter atau rumah sakit itu telah sirna sejak kakaku yang katanya sehat dalam versinya itu meninggal pasca operasi tumor di bahunya. Dan obat-obatan herbal menjadi acuan bapak selama ini, dengan refrensi dari temannya yang menjadi terapis herbal dan bekam. Tetapi keadaan ini membuat semuanya berbeda, bapak benar-benar sudah kepayahan, aku memaksanya untuk segera di rawat ke rumah sakit. Tetapi sore itu, di sore yang mendung, bapak akhirnya memilih tak ikhlas jika di bawa ke rumah yang katanya bau obatnya itu membuat hidungnya tak mampu bernapas. Matanya terpejam, napas di tenggorokanpun sudah selesai tepat setelah membisikkan sesuatu untukku.

“Yaa Rabb, apa aku sedang bermimpi kali ini” Seraya batinku berucap.
Acara pemakaman selesai, tetapi bisikan terakhir itu membuatku serasa diamanahi hal yang begitu berat.

”Menikah? Dengan siapa?” Pikirku keras.

“Menikah” Kira-kira kalimat yang pertama itu yang ku dengar dari bapak sebelum berucap kalimat tauhid di telingaku.
Tanpa kuketahui semua sudah direncanakan bapak dan sahabat lamanya. Pak Amin, sosok terapis obat herbal itu mendekatiku setelah pemakaman, seraya menyampaikan amanah bapak kepadanya. Dan aku tertegun dibuatnya. Menikah? Dengan anaknya. Ohw Tuhan, apa yang harus aku sampaikan kepada bapak ini. Apa aku harus jujur dengan kekotoranku selama ini. Atau bagaimana…

Berjalan waktu keadaan semakin membaik, aku sudah memutuskan semua kontak dengan teman-teman yang berhubungan dengan dunia hitam itu, no hp sudah ku ganti, facebook twitter sudah ku non aktifkan, semua serasa baru untukku. Adalah bapak Amin teman bapakku itu yang menyakinku untuk menikahi anaknya, semua sudah ku ceritakan, duniaku, dunia hitam itu. Semua sudah ku buang jauh-jauh, dan mengikhlaskan atas semua yang sudah terjadi seraya sebagai pertobatan. Alhamdulilahnya hari ini aku akan berucap ijab kabul. Ada rasa haru di hatiku. Sungguh Tuhan selalu punya cara dan memberi kesempatan kepada hamba-hambaNya untuk kembali ke jalanNya. Dan Aku berucap syukur atas itu. Benarlah jika doa dari orang tua memang tak berjarak dengan Tuhan. Sungguh doa kebaikan dari ibu dan bapaklah yang membuatku kembali ke jalanNya. Hadiah pertobatan yang indah dengan berupa ijab dan mempelai wanita yang cantik jelita.

Aku tahu bahwa tidak semua kisah seindah seperti kisahku. Tetapi Aku tahu, bahwa Tuhan selalu memberikan jalan untuk orang yang berusaha menuju kepada kebaikan, menuju kepadaNya.
Cerita ini fiksi yang terinspirasi dari kisah seorang teman yang terjebak dalam dunia itu.